Thursday, 31 January 2013

Review : Harry Potter and the Sorcerer's Stone by J. K. Rowling

 
Penulis : J. K. Rowling
Penerbit : Gramedia
Tebal : 384 Halaman
Terbit : September 2000
Genre : Fantasi
Status : Sewa


HARRY POTTER belum pernah jadi bintang tim Quidditch, mencetak angka sambil terbang tinggi naik sapu. Dia tak tahu mantra sama sekali, belum pernah membantu menetaskan naga ataupun memakai Jubah Gaib yang bisa membuatnya tidak kelihatan.

Selama ini dia hidup menderita bersama paman dan bibinya, serta Dudley, anak mereka yang gendut dan manja. Kamar Harry adalah lemari sempit di bawah tangga loteng, dan selama sebelas tahun, belum pernah sekali pun dia merayakan ulang tahun.

Tetapi semua itu berubah dengan datangnya surat misterius yang dibawa oleh burung hantu. Surat yang mengundangnya datang ke tempat luar biasa, tempat yang tak terlupakan bagi Harry--dan siapa saja yang membaca kisahnya. Karena di tempat itu dia tak hanya menemukan teman, olahraga udara, dan sihir dalam segala hal, dari pelajaran sampai makanan, melainkan juga takdirnya untuk menjadi penyihir besar... kalau Harry berhasil selamat berhadapan dengan musuh bebuyutannya.


Footnote

 
Hari-hari Harry tidaklah lebih baik dari anak-anak sesusianya. Dia harus berdiam diri di bawah tangga setiap malam untuk memejamkan mata. Yang ia miliki hanyalah barang-barang bekas, sudah tak layak dan kadang tak pantas.

Dia dibohongi. Selama bertahun-tahun ia hidup di luar kaumnya. Dia yang terlahir sebagai seorang penyihir berdarah campuran, harus merasakan siksaan yang terkadang tak bisa dihindari.

Semua berubah ketika waktu menunjukkan kalau tanggal 31 Juli telah dimulai. Harry yang berada di tempat yang terpencil mendapati kejutan dihari ulangtahunnya. Seorang pria setengah raksasa bernama Hagrid mendatanginya.

Kebenaran terungkapkan. Harry mengetahui siapa dirinya. Untuk pertama kalinya ia tahu apa yang telah dilakukan seseorang hingga membuat tanda luka di dahinya. Selain kue, Harry juga mendapat kejutan lainnya. Akhirnya ia bisa pergi meninggalkan keluarga Dursley untuk pertama kalinya dan melanjutkan sekolah di Hogwarts—sekolah sihir terhebat di Inggris.

Tiba saatnya Harry berangkat ke Hogwarts. Ia bertemu dengan keluarga Weasley yang membantunya menemukan peron 9 ¾ di Stasiun King’s Cross. Harry duduk di kompartemen bersama Ron dengan banyak makanan di sekeliling mereka.

Namun siapa sangka kalau penderitaan Harry ternyata belum berakhir. Profesor Snape menaruh dendam pada ayahnya yang entah kenapa menjadikan Harry sebagai sasarannya. Hubungan Harry yang tak baik dengan Malfoy membuatnya gusar dan ia sering muncul di mana-mana hanya untuk melayangkan sindiran.
Harry dan Ron tak sengaja menyakiti Hermione. Hal itu justru membuat mereka bersahabat. Mereka banyak melalui kegiatan bersama. Bahkan mereka sama-sama terjebak di sebuah pintu di lantai tiga dengan Anjing berkepala tiga di dalamnya, sedang menjaga sebuah pintu rahasia.

Natal tiba. Harry mendapatkan jubah gaib milik ayahnya. Membuatnya bisa berkeliaran dengan bebas kapan saja. Namun hal itu ternyata membuat keadaan semakin buruk.

Mereka terpaksa memantrai Neville. Berkeliaran di sekolah di saat seharusnya mereka berada di tempat tidur atau setidaknya di ruang rekreasi. Menyembunyikan rahasia Hagrid yang jika ketahuan mereka bisa dikelurakan dari sekolah. Melawan raksasa yang sebetulnya belum pernah dikalahkan oleh anak seumuran mereka. Memasuki hutan terlarang di saat hari sudah gelap. Melawan jerat setan. Terbang di ruangan bawah tanah hanya untuk mencari kunci. Bermain catur dengan diri mereka sendiri sebagai bidaknya. Meminum ramuan yang mungkin adalah racun. Pada akhirnya melawan dia yang sudah lama tidak ditemui.


My Story

Akhirnya aku bisa membaca buku ini. Tentu saja sudah lama aku mendambakannya. Padahal nih ya, waktu smp buku ini sempet aku pegang di salah satu kunjunganku di perpustakaan. Tapi aku biarkan saja. Saat itu aku tidak tertarik pada Harry Potter.

Bahkan setelah menonton filmnya. Aku tidak memiliki rasa apa-apa. Menontonnya hanya sekedar nonton  saja.

Namun, seorang temanku memperkenalkan J. K. Rowling padaku. Aku membaca biografinya dan aku setuju kalau ia mendapatkan apa yang setimpal denga perjuangannya. Setahun kemudian kakak sepupuku yang bernama mbak Dian, memberiku buku Harry Potter and the Order of the Phoenix padaku sebagai hadiah lebaran saat kunjunganku ke rumahnya di Madiun bersama ayahku dengan menggunakan motor dari Bandung.

Tadinya aku hendak menaruh buku itu untuk liburan semester. Tapi ternyata tidak kuat. Aku membuka plastiknya dan mulai membaca. Aku tidak bisa menaruh buku itu hingga empat hari kemudian. Barulah aku sadar apa yang memukai dari Harry Potter.

Ini sebabnya aku pernah bilang dalam beberapa posting blog kalau aku mengenal J. K. Rowling lebih dulu daripada mengenal Harry Potter.

Perjuanganku untuk membaca buku ini....

Aku harus berjalan kaki lebih dari satu jam karena nyasar dalam perjalananku mencari Pitimoss Fun Library untu mendaftar menjadi anggota agar bisa membaca buku ini. Di tengah hari di kota Bandung. Dengan angin kencang yang menumbangkan sebuah pohon dan mengenai mobil dan memecahkan sebagian kaca depannya. Juga mendung di kejauhan. Aku juga perlu menerjang hujan saat hendak memperpanjang masa sewanya. Jikalau aku libur mungkin dua hari selesai. Tapi selain kegiatan rutin, aku juga mengikuti writing challenge yang juga menyita waktuku. Empat writing challenge sebenarnya. Aku mendaftar  dengan sok saat itu. Yang satu sudah selesai dan aku terlambat dua hari di dua tulisan terakhir, yang satu masih berlanjut hingga akhir bulan Maret, satu lagi aku jadikan hutang, satu lagi tak sanggup aku lanjutkan jadi aku mengundurkan diri :P


Pin

Buku ke satu ini memang tipis. Tapi aku menghabiskan waktu dua minggu untuk menyelesaikannya. Secara kesuluruhan, semua bagian dari buku ini penting. Rasanya tidak boleh ada satu katapun yang di bisa dilompat. Tidak bertele-tele dan penyampaiannya pas. Di buku selanjutnya ada adegan yang kurasa ditambahkan hanya sekedar untuk memperpanjang waktu. Mengingat satu buku menghabiskan waktu selama setahun.

Aku heran. Kenapa Harry bisa bermusuhan dengan Malfoy. Ini terjadi begitu saja. Sama seperti permusuhan antara James dan Snape. Rasanya begitu tiba-tiba. Hanya karena tidak sejalan mereka memutuskan untuk bermusuhan.

Hermione itu sempurna otaknya. Belum pernah aku menemui orang seperti dia di duniaku. seorang temanku  yang menjadi juara umum diangkatanku, memang pemakan buku. Dia juga membabat buku-buku di perpustakaan yang tidak boleh di bawa pulang. Entah bagaimana dia bisa sepintar itu. Jika kami sedang di kantin sepulang sekolah dan sekedar kumpul-kumpul di sekretariat PMR, kerjaannya hanya ngemil.

Weasley itu berdarah murni. Kenapa dia tidak bisa seperti saudaranya ya? Seperti Black dan Malfoy. Jika mereka tahu kondisi keluarga mereka, kenapa memutuskan untuk menjadi keluarga besar? Memang sih mereka bisa bertahan dengan kondisi yang cukup layak.

Nyonya Gemuk dalam lukisan. Kenapa ia bisa membiarkan Harry dan kawan-kawan keluar dari ruang rekreasi pada jam terlarang bagi para murid? Itu berarti Nyonya Gemuk juga perlu dihukum. 

Sebagai anak berusia sebelas tahun, apa yang dilakukannya jauh dari apa yang kulakukan saat aku seusianya. Coba kuingat....

Aku duduk sendiri di kelas di bangku paling belakang karena baru sembuh dari cacar air. Aku memang duduk sendiri sepanjang tahun terakhirku di SD. Bahkan saat terpaksa sekolah di SMP karena banjir besar yang merubuhkan dua kelas dan kami yang ditingkat paling atas harus mengungsi. Seisi kelas pernah menyangka aku membawa handphone saat ada sebuah nada dering lalu aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ku lalu menyembunyikannya di bawah meja. Padahal yang kulakukan hanya memberi minyak pada tipe-x milikku agar tidak kering. Aku menyanyikan pupuh dalam tes praktek bahasa Sunda. Menjalani UN matematika dengan penuh kejayaan. Aku meminjam baju temanku untuk tes olah raga dan kami menggunakan lagu milik Agnes Monica. Aku hanya berdua dengan guru bahasa Inggris di ruang guru untuk tes speaking.

Ah, kembali pada cerita utama...

Sebagai cerita permulaan, buku ini memikat. Tak sabar rasanya untuk mencapai buku selanjutnya.
Andai saja tante Jo melakukan detailing lebih banyak, imajinasiku mungkin tidak akan mentok. Percaya atau tidak, saat membaca buku inilah pertama kalinya aku bisa membayangkan wujud troll. Berarti tinggal satu lagi yang belum aku ketahui. Merlin. Jenggot Merlin. Topi Merlin. Bahkan celana Merlin yang kedodoran. Nama ini sering di sebut.

Ah, aku tidak bisa berkomentar banyak tentang cerita yang ditulis oleh tante Jo. Jikalau kamu mengerti arti dari ratingku, mungkin kamu akan tahu sebabnya kenapa aku tidak bisa memberikan banyak penilaian :))



Postcard 
 
 


No comments:

Post a Comment