Tuesday 30 April 2013

Fall and Fail

Aku berusaha untuk kembali menarik nafas. Kenyataannya adalah aku sudah berkali-kali menahan nafasku. Menahan rasa sakit di dada yang sulit ditahan. Aku duduk di tempat tidurku. Di kamar yang sudah kutempati tiga tahun yang lalu. Hampir tiga tahun yang lalu. Dan mungkin saja tiga tahun ke depan.

Tadi pagi, aku mengemas semua buku yang aku miliki. Hanya perlu tas kecil untuk membawanya, dengan mantra sederhana, segalanya jadi mudah. Aku bisa saja tidak menaruh apapun di tas yang dijadikan sebagai properti ujian, andai saja para pengawas tidak melihat apa yang kami masukan.

Dan aku menyesal.

Seharusnya aku mencari barang lain. Barang yang tidak akan aku tangisi jika hilang. Seharusnya aku mendengarkan ucapan Lucy--salah seorang teman sekamarku. Ia membawa sebuah boneka beruang yang sudah tampak lusuh. Ibunya mengirim boneka itu lewat burung hantu keluarga. Baru datang kemarin malam. Kami memang tidak ditanya tentang barang-barang itu. Tapi para pengawas pastilah berpikir benda usang adalah benda kesayangan yang tak pernah bisa dibuang.

Dan aku juga tidak lulus ujian terbang.

Aku harus mengulang dan ini jadi dua kali lebih sulit. Para pengawas akan lebih fokus lagi. Tidak seperti hari ini. Kami terbang bersamaan ke arah yang sama. Dan para pengacau yang terbang bersama kami tentu punya lebih banyak sasaran.

Aku memang masih punya waktu dua bulan untuk menyelesaikan ujian. Setelah itu aku bisa dinyatakan sebagai seorang Auror muda. Yah, aku sama sekali tidak berharap aku bisa disebut seorang Auror yang sah bulan Juni nanti.

Aku bahkan tidak bisa terbang dengan baik. Aku berusaha untuk menghindari seorang pengacau--yang tentunya penyihir yang juga menaiki sapu dan berusaha menjatuhkan kami dengan tingkat sihirnya--dan tak melihat teman di sampingku. Aku menabraknya. Aku sempat berputar di sapuku. Aku bisa bernafas lega untuk sesaat saat tahu aku masih berpegangan di sapuku dan aku masih memegang tongkat berinti Naga dan terbuat dari kayu Ash sepanjang 12 1/2". Tapi aku harus menahan nafasku saat menyadari tas kecil di kaitan sapuku sudah tidak ada.

Kini aku ada di Diagon Alley di Flourish and Blotts. Duduk di salah satu kursi untuk memperhatikan Alex yang mencarikan sesuatu yang bisa menghiburku.

"Tidak ada yang tersisa?" tanya Alex.

"Ini kesepuluh kalinya kau bertanya padaku!" jawabku kesal.

"Kenyataannya Ryana, kita hanya bisa membeli satu buku saja. Meskipun kita punya ribuan Galleon kita tetap tidak memborong semua buku di sini. Tidak ada cukup tempat di kamar. Dan kita tidak boleh menggunakan sihir apapun di tempat pelatihan."

"Jadi, apa yang bisa kuambil?"


Alex kembali berkeliling dan mengambil beberapa buku. Ia menaruh buku seuai judul yang ia tulis di selembar keertas dan menaruhnya di kursi kosong di sampingku.

Aku mengambil buku paling atas. One Thousand Magical Herbs and Fungi yang harganya 2 Galleon.
Lalu aku menatap Alex. "Satu-satunya alasan aku membaca buku ini adalah karena aku tidak ingin lebih bodoh dari Mr. Longbottom."

Aku menaruh buku pertama di kursi kosong lain dan mengambil buku ke dua. Magical Drafts and Potions yang harganya 2 Galleon. "Aku tidak punya waktu untuk membuat ramuan jika ada yang ingin kuracuni dalam waktu cepat."

Aku menumpul buku ke dua di atas buku pertama lalu mengambil buku ke tiga. Fantastic Beasts and Where to Find Them yang harganya juga 2 Galleon. "Kau tahu Alex, aku punya masalah dengan binatang. Jangankan binatang buas, yang jinak pun tak bisa kupelihara," ucapku.

"Berarti kau tida melupakan bagaimana sedihnya dirimu saat kucingmu mati."
"Break with a Banshee?!" pekikku. "Kau pikir aku mau membayar 5 Galleon hanya untuk takut?!"
 
 "Sepertinya aku salah ambil buku."
 
"New Theory of Numerology? Baik betul kau mau mengambilkanku buku ini. Satu-satunya alasan aku ingin kembali sekolah di Hogwarts adalah karena aku gagal meraih nilai O di Arithmancy. Padahal profesor Vector percaya padaku..."
 
"Aku taruh lagi ke rak," kata Alex segera setelah mendengar nada suaraku yang melemah. "Kita tidak butuh buku itu."

Aku mengambil buku paling akhir yang berjudul Hogwarts: A History. Tapi Alex tidak membuat catatan berapa harganya.

"Kenapa kamu berpikir aku ingin buku ini?"

"Karena aku percaya kau belum membacanya."

"Ya, tapi kenapa aku harus membaca buku ini? Toh aku sudah lulus dari Hogwats."

"Karena Weasley bilang hanya Granger yang membacanya. Dan dia luar biasa bukan? Kupikir buku ini bisa membantumu lolos ujian."

"Lantas kenapa tidak mengambilkan buku Flying with the Cannons untukku?"

"Seseorang harus belajar dari masa lalu. Kau sekolah di Hogwarts selama 7 tahun dan tidak pernah tahu sejarahnya. Bukankah itu keterlaluan. Jangan-jangan kau tidak tahu siapa pendiri asrama kita."

"Aku ingat, terima kasih," ucapku lalu membawa buku itu untuk dibayar.

"Kau membelinya?"

"Hanya ingin tahu sesuatu."

"Apa?" tanya Alex.

"Apakah Rowena Ravenclaw bisa menaiki sapu? Kalau dia tidak bisa maka aku tidak punya alasan untuk malu karena takut ketinggian."

"Ryana, itu tidak akan membantu."

"Kita di sini untuk menghilangkan kesedihanku, oke? Bukan untuk mencari cara bagaimana agar aku lulus ujian terbang. Masih ada waktu untuk memikirkan pekerjaan apa yang bisa aku cari kalau aku dikeluarkan dan tidak bisa menjadi Auror."

Sebenarnya aku tidak bisa tidak membayangkan apa yang akan orangtuaku katakan kalau aku tidak berhasil menjadi Auror padahal telah mengikuti pelatihan dan tes selama tiga tahu.

Oh, demi nama Merlin...



note : itu yang cetak tebal jangan dianggap. aku gak ngerti kenapa bisa gitu padahal pas mau di edit gak ada yang cetak tebal ._.

No comments:

Post a Comment